mengenal kesenian tutur besemah kota pagaralam
BENTUK PENYAJIAN SENI GURITAN PADA
MASYARAKAT BESEMAH KOTA PAGARALAM
Zely Marissa Haque
NIDN: 0223118502
ABSTRAK
Sastra Tutur Guritan adalah salah satu seni sastra drama. Guritan pada
hakikatnya sebuah teater yaitu teater rakyat Besemah. Kesenian Sastra Tutur
Guritan dikenal pada saat masuknya Penjajahan Belanda ke Indonesia
khususnya pada suku Besemah di kota Pagaralam, dan pada saat itu pula
kesenian Sastra Tutur Guritan digunakan untuk menyebarkan kembali
semangat pahlawan atau pejuang daerah suku Besemah. Fungsi Sastra
Tutur Guritan saat ini sudah dipakai pada upacara adat, yaitu upacara adat
pernikahan, kenduri, khitanan, dan kematian. Penelitian dilakukan bertujuan
untuk mendeskripsikan bentuk penyajian seni guritan pada masyarakat Besemah Kota
Pagaralam kedalam bentuk tulisan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif. Pengamatan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan
teknik wawancara dan dokumentasi terhadap Penggurit (Penutur Guritan) dan
ketua Lembaga (PESAKE) Pecinta Sejarah dan Kebudayaan yang dilakukan secara
langsung dengan nara sumber yang terkait yaitu Ahmad Bastari Suan. Peneliti
mendapat penjelasan mengenai deskripsi bentuk penyajian Sastra Tutur
Guritan, photo-photo mengenai lakon pertunjukan penggurit (Penutur
Guritan), kostum/tata rias dan busana, naskah, musik iringan, dan tempat
pertunjukan. Melalui hasil penelitian tersebut, maka peneliti dapat mengetahui
bahwa Sastra Tutur Guritan adalah sastra drama. Dalam bentuk
penyajiannya, Sastra Tutur Guritan terdiri dari naskah atau lakon,
tempat pertunjukan, properti, musik dan tata rias dan busana. Naskah yang
digunakan dalam Sastra Tutur Guritan adalah sesuai dengan tema, tempat
pertunjukan dalam Sastra Tutur Guritan adalah dipagar halaman rumah dan
panggung, properti yang digunakan yaitu sambang atau gerigik,musik
yang digunakan berupa gitar tunggal. Busana yang digunakan berupa baju teluk
belango, celana bahan panjang, peci hitam dan kain sarung. Dalam penyajiannya Sastra
Tutur Guritan dipertunjukan dengan 3 tahap yaitu pembuka, isi dan penutup
yang dipertunjukan pada malam hari selama 3 hari berturut-turut.
Kata Kunci: Bentuk Penyajian, Sastra
Tutur Guritan, Masyarakat Besemah
A.
PENDAHULUAN
Kebudayaan
yang banyak berkembang di Indonesia salah satunya dalam bentuk kesenian
tradisional.
Kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan yang
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, yang
diwujudkan berupa perilaku dan benda. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan sosial
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui belajar.[1]
Selanjutnya kebudayaan menurut Taylor
dikutip Sulasman dan Gumilar,
Kebudayaan atau peradaban mengandung pengertian yang
luas, meliputi pemahaman perasaan yang kompleks, meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan
lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.[2]
Kesenian tradisional adalah unsur
kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu bangsa tertentu yang
diwariskan secara turun temurun. Hubungan antara masyarakat dan kebudayaan
begitu erat sehingga keduanya seperti tidak bisa dipisahkan. Dalam persoalan
kebudayaan, ketika kesenian merupakan salah satu bagian di dalamnya, kebanyakan
masyarakat menempatkan seni tradisional sebagai simbol kedaerahan. Peran serta
seni tradisional sebagai simbol memiliki fungsi sebagai identitas budaya suatu
daerah, sehingga setiap orang yang melihat hasil kesenian tersebut dapat melihat
dari ciri khas keseniannya.
Setiap suku
bangsa di Nusantara, masing-masing memiliki bentuk kesenian yang khas dan
beragam yang sering disebut local culture yang hidup ditengah-tengah
masyarakat. Sastra merupakan salah satu unsur kebudayaan yang merupakan
pencerminan dari pola pikir, tingkah laku, dan watak masyarakat. Salah satu
sastra tersebut adalah folklor. Sastra
merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dan memiliki peranan
penting sehingga dianggap sebagaiharta yang sangat bernilai. Oleh karena itu,
seni sastra menjadi sangat populer sebagai dimensi kebudayaan, karena seni
sastra tradisional merupakan fenomena nyata kebudayaan yang dapat
divisualisasikan.
Keberagaman suku bangsa dan suku
tentu pula memiliki keberagaman seni budaya dan bahasa salah satunya yang ada
di Sumatera Selatan yang terdapat pada masyarakat besemah kota pagaralam yang
berbentuk sastra tutur atau sastra lisan yang disampaikan secara lisan
atau dituturkan dari mulut ke mulut yang berkembang ditengah masyarakat. Salah
satu kesenian tradisional yang ada di Pagaralam adalah sastra tutur yang masih
bertahan hingga sekarang. Sastra tutur memiliki beberapa jenis dan genre,
seperti tangis ayat, tadud, guritan dan Rejung. Masing-masing memiliki ragam
karakter, fungsi, dan konteks yang berbeda-beda. Dari berbagai macam jenis
sastra tutur, salah satu seni tutur yang populer di kota ini adalah Guritan.
Pagaralam memiliki obyek dan daya
tarik wisata yang beragam mulai dari wisata alam, sejarah atau seni budaya
serta wisata minat khusus. Salah satu bentuk seni budaya atau daya tarik wisata
yang pernah tumbuh dan tersebar didaerah ini adalah khasanah sastra lisan atau sastra
tutur. Sastra tutur mencakup bahasa rakyat, ungkapan tradisional,
pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat yang
mengandung gagasan-gagasan, pandangan dan nilai kehidupan, sistem masyarakat,
sistem kebudayaan, dan pesan-pesan.
Guritan biasanya menggunakan bahasa daerah
etnik Besemah yang banyak mengandung
nilai dan norma kehidupan, etika, akhlak baik, sopan-santun, sifat sikap
terhadap orang tua. Ini merupakan salah satu nilai kearifan lokal yang harus di
lestarikan, karena nilai-nilai tersebut memiliki dampak positif bagi masyarakat
Besemah. Aspek tersebut akan tumbuh
apabila ditanamkan sejak dini pada masyarakat Besemah, karena nilai dan norma kehidupan, etika, akhlak, nasihat
dll) dalam kehidupan masyarakat Besemah
pada akhirnya menyangkut persoalan akhlak serta karakter masyarakat Besemah.
Guritan pada zaman dahulu berfungsi sebagai
media untuk mengisi kesendirian dalam diri seseorang baik itu dalam kesedihan,
atau kegembiraan dan media sebagai ungkapan perasaan antara muda-mudi pada
masyarakat Besemah. Di zaman sekarang, Guritan
hanya sebagai hiburan. Diperkirakan sudah sangat jarang disajikan dalam
acara-acara rakyat, karena saat ini lebih banyak menampilkan kesenian populer
sebagai hiburan.
Kurangnya
kegiatan penelitian yang dilakukan dapat membuat perubahan bahkan hilangnya sastra
lisan rejung masyarakat Lahat. Gejala
perubahan dan penghilangan seperti yang telah diungkapkan sebelumnya juga
terjadi dalam pertumbuhan sastra lisan rejung.
Terdapat dua situasi dan kondisi yang meyebabkan hal itu terjadi, yaitu sebagai
berikut. a. Ada ragam yang terancam punah. Ragam semacam ini kehilangan
perannya dalam kehidupan masyarakat karena pergeseran fungsinya. Pergeseran
fungsi ragam tersebut dipengaruhi oleh pola hidup dan cara berpikir masyarakat
yang selalu mengikuti perkembangan. Misalnya, karena kemajuan pendidikan maka
masyarakat tidak lagi terikat pada berbagai dogma yang tidak sesuai. Akibatnya,
ragam sastra yang berhubungan dengan dogma tersebut mulai ditinggalkan. Sebagai
contoh, orang tidak lagi menggunakan ragam sastra yang waktu mengambil kayu
dari hutan dan menanam padi karena mereka telah menggunakan alat-alat
pengangkut dan pupuk penyubur tanah. b. Beberapa ragam tidak mengalami
perubahan secara drastis atau sangat lambat perubahannya. Ragam-ragam seperti
ini erat hubungannya dengan peradatan. Karya-karya ragam ini diteruskan secara
asli melalui penghapalan dari seorang tokoh adat kepada penerusnya. Kalimat dan
kata-katanya dipertahankan sebab dipandang mengandung nilai yang tidak boleh
diubah. Berdasarkan uraian di atas penulis perlu melakukan penelitian lebih
jauh pada aspek bentuk penyajian seni Guritan
pada masyarakat Basemah.
B. PEMBAHASAN
B.1 Suku Besemah Terpusat di
Kota Pagaralam Sumatera Selatan
Kota Pagaralam secara geografis
berada pada posisi 4º Lintang Selatan (LS) dan 103,15º Bujur Timur (BT) dengan
luas wilayah 63.366 Ha (633.66 Km2 ) dan terletak sekitar 298 Km dari Palembang
serta berjarak 60 Km disebelah barat daya dari ibukota Kabupaten Lahat. Letak
kota Pagaralam berbatasan dengan kecamatan-kecamatan yang ada dalam Kabupaten
Lahat provinsi Sumatera Selatan yaitu : Sebelah Utara : Berbatasan dengan
Kecamatan Jarai Kabupaten Lahat, Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Propinsi
Bengkulu, Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Kota Agung Kabupaten
Lahat, Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Sakti Kabupaten
Lahat.
Sesuai dengan daerah sebaran
masyarakat etnik Besemah dan bahasa Besemah, guritan berkembang
di wilayah Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu daerah kebudayaan Besemah atau
Besemah culture. Mereka menyebut daerah itu dengan “Besemah Sekali
Nuduh” (Besemah Sekali Sebut). Inti daerah kebudayaan Besemah ini
adalah Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Bila
dirincikan menurut wilayah administrasi pemerintahan maka daerah sebaran guritan
Besemah ini meliputi (1) Kota Pagaralam, (2) Kabupaten Lahat, (3) Kabupaten
empat Lawang, (4) Kabupaten Muaraenim, (5) Kabupaten Ogan Komering Ulu, (6)
Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan, (7) Kabupaten
Bengkulu Selatan, (8) Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Sebagai atap daerah
provinsi Sumatera Selatan, kota Pagaralam berada pada ketinggian 100-1000 Mdl
(Meter dari permukaan laut) dari luas wilayah dataran tinggi di daerah ini
berada dibawah kaki gunung Dempo + 3159 meter.
Kota Pagaralam mempunyai banyak
sungai, diantaranya sungai Lematang, sungai Selangis Besar, sungai Selangis
Kecil, sungai Air Kundur, sungai Betung, dan sungai Air Perikan. Sedangkan
sungai Endikat merupakan sungai yang membatasi dengan kecamatan kota Agung
Kabupaten Lahat. Suhu di kota Pagaralam berkisar anatara 14o C sampai dengan
34o C dengan jarak wilayah antara kecamatan dengan Desa/Kelurahan dan Ibukota
pemerintahan. Kecamatan yang terdekat dengan ibukota pemerintahan adalah
Kecamatan Pagaralam Utara sedangkan kecamatan yang terjauh dari ibukota
pemerintahan adalah Kecamatan Dempo Selatan.
Pada umumnya kota Pagaralam terletak
dibawah kaki gunung Dempo yang mempunyai hawa dingin (sejuk), dan memiliki 2
(dua) musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan rata-rata setiap
tahun berkisar antara bulan Oktober s/d bulan Maret sedangkan musim kemarau
berkisar bulan April s/d September. Penyimpangan kedua musim tersebut terjadi
setiap 5 tahun sekali dimana musim hujan berkisar antara 2000-3000 mm dengan
kelembaban udara berkisar antara 75-89 %. Seni budaya yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat Kota Pagaralam merupakan budaya yang diwariskan oleh
nenek moyang secara turun-menurun dari generasi terdahulu sampai ke generasi
berikutnya. Dengan masuknya budaya luar ke dalam tradisi kesenian masyarakat Besemah
Kota Pagaralam secara langsung maupun secara tidak langsung turut
menyebabkan sebagian ragam kesenian itu sendiri semakin bergeser bahkan hampir
mengalami kepunahan. Salah satu kesenian tradisional yang hampir mengalami
kepunahan yaitu kesenian tradisional Sastra tutur Guritan.
B.2 Guritan Adalah Jenis Sastra Tutur/Sastra
Lisan
Berbicara mengenai sastra tidak akan
terlepas dari hasil kreativitas masyarakat penghasilnya. Sastra yang merupakan
hasil kebudayaan turun-temurun suatu daerah mempunyai nilai-nilai luhur yang
perlu dikembangkan dan dimanfaatkan yang terkait dengan usaha menangkal efek
negatif globalisasi. Sastra adalah bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat, pemanfaatan bahasa dalam sastra dapat
dalam bentuk tulisan dan dapat pula dalam bentuk lisan.
Sastra lisan
adalah salah satu bagian dari kebudayaan yang disampaikan melalui bahasa yang
indah dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Sastra tradisional pada umumnya
menggunakan bahasa lisan yang disebut tradisi lisan. Sastra Melayu asli atau
sastra tradisional adalah sastra yang hidup dan berkembang secara
turun-temurun, seperti mantra, pantun, teka-teki, dan cerita rakyat.[3]
Selanjutnya, “tradisi lisan dapat
dinyatakan sebagai sastra lisan apabila tradisi lisan mengandung unsur-unsur
estetik (keindahan) dan masyarakat setempat juga menganggap bahwa tradisi itu
sebagai suatu keindahan”[4].
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan adalah salah
satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat. Ragamnya pun sangat
banyak dan masing-masing ragam mempunyai variasi yang banyak pula. Isinya dapat
berupa peristiwa yang terjadi atau kebudayaan pemilik sastra tersebut.
Dengan demikian, sastra lisan Guritan mengandung nilai-nilai budaya
masyarakat Besemah di mana sastra itu
tumbuh dan berkembang. Nilai-nilai budaya yang dikandung dalam sastra lisan
adalah nilai-nilai budaya masa lampau yang dituturkan dari mulut ke mulut.
Banyak sastra tradisi lisan yang tidak lagi dikenal masyarakat, padahal bentuk
ini dipandang secara antropologis yang dibentuk oleh tradisi masyarakat. Ini
berarti pula bahwa terdapat nilai-nilai budaya Besemah yang pernah dianut oleh masyarakat penciptanya.
Guritan adalah
jenis foklor dalam jjenis satra, diaman foklor adalah,
sebagian sastra lisan adalah folklor yang wujudnya
memang bukan murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke
dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech)
seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b)
ungkapan tradisional, seperti bahasa, pepatah, dan pameo; (c) pertanyaan
tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan
syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f)
nyanyian rakyat.[5]
Selanjutnya menurut
Brunvand dikutip Danandjaja, “nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau
bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan
di antara anggota kolektif tertentu, berwujud tradisional, serta banyak
mempunyai varian”.[6]
Berbeda dengan kebanyakan bentuk-bentuk
folklor lainnya, nyanyian rakyat
berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media.
Seringkali juga nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh pengubah nyanyian
profesional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa).
Walaupun demikian identitas folkloritasnya masih dapat di kenali karena masih
ada varian folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oral transmission).
Menurut Danandjaja,
umur nyanyian rakyat lebih panjang dari pada nyanyian
pop. Banyak nyanyian rakyat yang malah lebih tua daripada nyanyian seriosa.
Wujud nyanyian rakyat sangat beraneka warna, yakni dari yang paling sederhana
sampai yang paling rumit. Ciri yang membedakan nyanyian rakyat dari nyanyian
pop dan nyanyian seriosa adalah penyebarannya yang melalui lisan,sehingga
bersifat tradisi lisan dan dapat menimbulkan varian-varian.[7]
Ditinjau dari
peristiwa yang terjadi, rejung merupakan folklor sebagian lisan karena terikat dengan konteks yang
menyertainya. Rejung ini telah ada dari jaman dahulu dan penyebarannya
serta pewarisannya secara lisan. Rejung dinyanyikan oleh masyarakat pada
acara seperti pernikahan. Rejung juga menjadi wadah untuk menyampaikan
komunikasi bagi kaum muda-mudi.
B.3
Bentuk Penyajian Guritan
Komunitas masyarakat Besemah pada
abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20 yang lalu, guritan pernah
muncul sebagai karya yang cukup popular. Guritan telah memukau
masyarakat Besemah dan menjadi seni yang cukup populer pada masanya.
Pembacaan guritan selalu dilakukan menyertai acara-acara yang bersifat
umum seperti syukuran saat panen, kenduri pernikahan, atau ketika purnama
menerangi jagat Besemah. Sebagai karya sastra guritan memenuhi
syarat-syarat dasar teater: ada actor (pencerita) yang berperan, ada lakon
(cerita) yang dipentaskan, dan ada audien (pendengar) yang menyaksikan
permainan.
Adapun kekuatan guritan terletak
pada penghayatan pembaca terhadap roh yang tersimpan dalam guritan.
Selain itu pada kepurbaan bahasa dan isinya. Isinya beraneka ragam, ada yang
berupa ajaran moral, nasihat, aturan-aturan adat, suara-suara nurani dan potret
tentang karakter manusia, kepahlawanan, sisa kerajaan pada masa silam.
Penuturan ceritanya pun memakan waktu
yang cukup panjang semenjak usai magrib sampai melewati tengah malam. Melalui
pembacaan guritan dihadirkan suasana magis yang muncul sebagai gema dari
masa silam. Menunuturkan guritan dengan tuntas diperlukan penghayatan,
kemampuan teknis dan ingatan yang kuat. Tidak banyak orang yang dapat
menyampaikan guritan apalagi orang yang mencapai taraf ahli.
Selanjutnya, guritan dituturkan secara monolog oleh seorang pencerita
dengan memakai alat yang disebut sambang atau gerigik. Sambang itu
dililit dengan kain dan ditopangkan di bawah dagu. Tangan kanan pencerita
memegang pertengahan sambang atau agak ke bawah dan tangan kiri
diletakkannya di atas sambang, kemudian keningnya diletakkan di atas
tangan kiri tersebut. Pencerita tidak memandang pendengar ketika ketika ia
sedang menuturkan cerita dan ia menuturkan cerita sambil memejamkan mata.
Berikut adalah contoh Guritan Kriye Rumbak Ngempang Lematang
01. Uuuuui
Tembay uway tembay lengguay Tembai
bejejak dipantunan “Pantun mamak ngambik buloh Ambik ujung buang di pangkal
Ambik di tengah njadi sigian Pacak dibuat sambaing ayiek Ayiek keghing sambang
dikepit Njadi peranti nebah guritan”.
01. Oooooi
Mula dibuka cerita Mula berawal pada
pantun “Pantun paman mengambil bambu
Ambil di ujung , dibuang bagian
pangkal Ambil ditengah sebagai patokan Dapat dibuang wadah air Jika air kering
(tidak ada air) wadahnya dipeluk (dibawa di bawah ketiak). Dijadikan alat untuk
menuturkan guritan”.
Menurut
Sedyawati, dikatakan bahwa bentuk pertunjukan adalah sesuatu yang berlaku dalam
waktu, suatu lokasi mempunyai arti hanya pada waktu suatu pengungkapaan seni
berlangsung di situ.[8] Bentuk pertunjukan
meliputi berbagai aspek yang tampak serta terdengar di dalam tatanan yang
mendasari suatu perwujudan seni pertunjukan dalam bentuk gerak, suara dan rupa.
Ketiga aspek ini menyatu menjadi satu keutuhan dalam penyajiannya.
Jenis
dan bentuk pertunjukan berkaitan dengan materi pertunjukan. Jenis pertunjukan
meliputi teater, tari, musik, sedangkan bentuknya dapat berupa tradisional,
goyang atau pengembangan, dan modern atau kontemporer. Konteks tempat
pertunjukan dapat dipahami dalam arti lokasi dan gedung, termasuk bentuk
panggung pertunjukan. Idealnya tempat pertunjukan harus berada pada lingkungan
yang memungkinkan untuk berkembang secara ekonomis maupun artistik. Selanjutnya
Menurut Susetyo, bentuk pertunjukan dibagi menjadi dua yaitu bentuk komposisi
dan bentuk penyajian. Bentuk komposis musik terdiri dari: 1) ritme; 2) melodi;
3) harmoni; 4) struktur bentuk analisa musik; 5) syair; 6) tempo, dinamik
dan ekspresi; 7) instrumen, dan; 8)
aransemen.[9]
Bentuk penyajian sastra tutur
guritan merupakan penampilan yang disajikan oleh penggurit (penutur
guritan) kepada penonton. Sastra tutur guritan dalam penyajiannya
memiliki ciri khas yang mempunyai kekuatan guritannya terletak pada penghayatan
si penutur terhadap ruh yang mampu menghadirkan suasana magis. Dan ciri
khas lainnya juga terdapat pada suara si penutur yang begitu syahdu
ketika menggunakan properti sambang atau gerigik yang dapat
menghasilkan vibrasi pada suara penutur. Dan di dalam isi cerita atau
naskahnya juga menceritakan sejarah kepahlawanan, ajaran moral,
nasihat-nasihat, aturan-aturan adat, suara-suara nurani, dan potret tentang
karakter manusia. Adapun di dalam sebuah pertunjukan penyajian sastra tutur
guritan,peneliti menjelaskan bentuk penyajian dalam pertunjukan sastra
tutur guritan yaitu sebagai berikut :
a. Sebelum sastra tutur guritan dipertunjukan,
terlebih dahulu diawali dengan segala bentuk persiapan dan perlengkapan yaitu
dengan mempersiapkan naskah atau isi cerita apa yang akan disampaikan serta
busana dan rias yang akan digunakan lalu mempersiapkan properti, alat musik dan
mengatur tata panggung yang berhubungan dengan tema yang akan dibawakan pada sastra
tutur guritan. Sebelumnya tidak ada ritual-ritual khusus yang dilakukan,
hanya membaca do’a saja terlebih dahulu dan seperti biasa pada umumnya pengguritmempersiapkan
diri dan mempersiapkan suara dalam mengolah vocal dengan baik untuk
tampil didepan penonton. Dan pada pertunjukan sastra tutur guritan ini
tidak adanya unsur-unsur pendukung lainnya seperti gerak, dan pola lantai.
b. Setelah
semua persiapan dan perlengkapan sudah digunakan dan disiapkan, barulah penggurit
mulai memasuki tempat pertunjukan atau panggung dengan membawa properti
yaitu sambang atau gerigik dan alat musik lain yang akan
digunakan. Setelah itu mulailah penggurit bertutur dengan khusyuk sambil
memejamkan mata, sehingga mampu menghadirkan suasana magis. Pada bagian inilah
terlihat inti dari pertunjukannya, bahwa ketika penggurit sudah mulai
bertutur maka banyak nilai-nilai estetik yang ada seperti yang terdapat pada
isi cerita yang disampaikan oleh penggurit, mengenai kisah para
perjuangan pahlawan, ajaran moral, nasihat, aturan-aturan adat, dan potret
tentang karakter manusia yang memiliki bentuk keindahan. Dan nilai estetik yang
lainnya yaitu terdapat pada properti yang dipakai oleh penggurit yaitu
merupakan sambang atau gerigik yang mampu membantu penekanan
suara menjadi lebih jelas dan mampu menghasilkan vibrasi sehingga lebih indah
untuk didengar.
c. Setelah semua pertunjukannya
selesai, penggurit pun keluar dari area pertunjukan seperti biasa dan
semua anggota yang membantu dalam pertunjukan sastra tutur guritan pun
bergegas merapikan kembali perlengkapan yang digunakan pada pertunjukan sastra
tutur guritan tersebut.
d. Dalam sebuah struktur penyajian sastra
tutur guritan ini dijelaskan bahwa terdapat unsur naskah didalam bentuk
penyajiannya. Menurut hasil wawancara kepada seniman penggurit yaitu Bapak
Ahmad Bastari Suan bahwa pada dahulunya sebuah pertunjukan sastra tutur
guritan memang tidak menggunakan naskah secara tertulis. Tetapi setelah
mengalami perkembangan barulah setiap naskah cerita tersebut dibukukan secara
tertulis. Dan sampai sekarangpun ada sekitar kurang lebih 41 naskah cerita yang
dibukukan secara tertulis.
e. Musik
Pengiring Sastra Tutur Guritan, dahulu sastra tutur guritan ini belum
ada musik pengiringnya, akan tetapi setelah mengalami perkembangan dan
repitalisasi barulah seniman-seniman daerah menambahkan instrumen tersebut
dengan melantunkannya sehingga menyerupai alunan musik batang hari. Didalam
pertunjukan sebuah sastra tutur guritan musik iringan ini dahulunya
belum ada, akan tetapi dengan berkembangnya zaman maka pada pertunjukan sastra
tutur guritan sekarang lebih dikemas kembali dengan ditambahkannya
instrument musik yang hampir menyerupai alunan musik batang hari. Biasanya
iringan musik ini digunakan atau dimainkan pada saat penampilan penutur sudah
berada diatas panggung. Dan sambil bertutur penutur memegang properti
yaitu sebuah sambang atau gerigik yang merupakan alat bantu dalam
mengolah suara si penutur. Instrumen musik ini juga berfungsi untuk
membentuk suasana-suasana magis yang muncul sebagai gema dari masa silam. Dan
kekuatan guritan juga terletak pada penghayatan penutur terhadap
ruh yang tersimpan dalam guritan.
f. Properti, didalam
sebuah pertunjukan sastra tutur guritan memang menggunakan alat properti
seperti sambang/gerigik yang terbuat dari bambu yang digunakan dari
dahulu sampai sekarang. Dan ada beberapa properti yang lain juga sesuai dengan
tema pertunjukan.
g. Tata rias dan busana, tata rias dan busana dalam suatu pertunjukan sangatlah penting
dan utama. Karena kedua unsur tersebut memiliki satu kesatuan yang saling
mendukung. Didalam sastra tutur guritan penutur tidak terlalu
menggunakan riasan wajah yang begitu formal/resmi. Tergantung dengan
keadaan atau suasana pertunjukan. Dan pada busana atau kostum juga yang sopan,
pantas, nyaman untuk dipakai dan sesuai dengan keadaan atau suasana agar
menarik untuk dilihat. Pada sastra tutur guritan, biasanya busana yang
dipakai lebih condong menggunakan
h. Tempat Pertunjukan Sastra Tutur Guritan, sebelum mengalami revitalisasi atau
perkembangan biasanya sastra tutur guritan ini dipertunjukan di halaman
rumah penduduk desa/dusun pada malam hari. Akan tetapi setelah mengikuti zaman,
pertunjukan sastra tutur guritan ini sering dipertunjukan pada saat
acara adat pernikahan dan lain-lain, bahkan mengikuti festival daerah, lomba dan
acara-acara lainnya.
i. Penonton, pada sastra
tutur guritan dipertunjukan terdapat penonton yang berasal dari masyarakat
sekitar dusun. Ada juga penonton yang berdatangan dari dusun-dusun lainnya. Dan
biasanya penggurit juga mengajak penonton untuk bersahut pantun.Dalam
penelitian ini, dapat dinyatakan bahwa pada pertunjukan sastra tutur guritan
mempunyai unsur-unsur atau susunan penyajian pertunjukan yang sedehana,
namun tetap mempunyai unsur ciri khas yang tidak boleh dilupakan bahkan ditinggalkan.
Oleh karenanya tidak jarang hampir kebanyakan masyarakat Besemah di kota
Pagaralam hanya sebagian orang saja yang bisa menuturkan sastra tutur
guritan tersebut, dan tidak banyak orang yang dapat menyampaikan guritan
apalagi orang yang mencapai taraf ahli, karena ini dibutuhkan kemampuan
teknis dan ingatan yang kuat.
Secara kontekstual penelusuran
didalam mencari asal-usul keberadaan sastra tutur guritan masyarakat Besemah
kota Pagaralam ini, seiring perubahan zaman sastra tutur guritan sedikit
mengalami penurunan dikarenakan nilai peradaban masyarakat yang sudah mengarah
pada versi modern dan salah satu penyebab utamanya adalah hilangnya pekerja
seni yang membuat lambat laun berbagai seni tradisi itu sulit diteruskan dan
menghilang. akan tetapi walaupun begitu pada tahun 2001 beberapa pekerja seni
yang merupakan turun-temurun mulai sadar dan mulai melestarikan seni tradisi
yang ada, salah satunya yaitu sastra tutur guritan yang merupakan
kesenian tradisional. Sastra tutur guritan ini menjadi kesenian asli
bagi masyarakat setempat. Karena sastra tutur guritan ini merupakan
salah satu seni tradisi yang masih ada namun sudah jarang dipertunjukan pada
masyarakat Besemah kota Pagaralam. Dan penuturnya pun hanya masih
ada beberapa yang masih hidup, karena sastra tutur guritan ini
diwariskan secara turun-temurun.
C. KESIMPULAN
Sastra tutur guritan dahulunya hanya menggunakan properti
atau alat bantu seperti sambang atau gerigik. Adapun busana yang
digunakan oleh penutur yaitu baju teluk belango, kain sarung yang
diselempangkan, celana bahan hitam, dan peci dan kostum yang digunakanpun
sederhana. Sastra tutur guritan ini dahulunya tidak menggunakan tata
rias, sedangkan tempat pertunjukannya pun hanya dilakukan dihalaman atau dipagar/garang
rumah-rumah penduduk desa/dusun pada malam hari dari awal sampai akhir
pertunjukan. Dahulunya sastra tutur guritan ini sering ditampilkan pada
acara pernikahan adat, musibah kematian, dan hiburan yang ada di masyarakat
kota Pagaralam. Dan sekarang setelah mengalami revitalisasi atau
perkembangan, sastra tutur guritan ini sudah menggunakan tata rias dan
busana bahkan juga ada musik iringannya, serta cerita yang dituturkan juga
sudah dituliskan atau sudah dijadikan sebuah teks yang berbentuk tulisan.
D. DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sulasman,
dan Setia Gumilar. 2013. Teori-teori Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setia.
Depdikbud. 1998. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Hahasa.
Suripan Sadi Hutomo. 1991. Mutiara Yang Terlupakan, Pengantar Studi Satara Lisan. Surabaya: HISKI
Jawa Timur.
James Danandjaja. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Cetakan V.
Jakarta:PT Pustaka Utama Grafiti.
Sedyawati,
Edi. 1980. Pertumbuhan Seni Pertunjukan.
Jakarta: Sinar Harapan.
Susetyo,
Bagus. 2007. Pengkajian Seni Pertunjukan
Indonesia. Semarang: Jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni.
[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi,(Jakarta: PT Rineka Cipta,1990), h.180.
[4] Suripan Sadi Hutomo, Mutiara Yang Terlupakan, Pengantar Studi Satara Lisan. (Surabaya:
HISKI Jawa Timur1991), h. 94.
[5]
James Danandjaja,Folklor
Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. (Cetakan V. Jakarta:PT
Pustaka Utama Grafiti. 1997), h. 21-22.
[9] Susetyo, Bagus. Pengkajian Seni Pertunjukan Indonesia. (Semarang:
Jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni.2007). h.4
Komentar
Posting Komentar